Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus ini, penulis akan membahas beberapa profil pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari keturunan Samurai.
Latar Belakang
Tentara Kekaisaran Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, dan berhasil mengusir pemerintahan Hinda Belanda. Waktu itu Tentara Kekaisaran Jepang disambut dengan suka cita oleh masyarakat Indonesia, karena dianggap penyelamat dari penjajahan Belanda.
Salah satu program yang dijanjikan pemerintah pendudukan Jepang waktu itu adalah membantu kemerdekaan Indonesia, salah satunya dengan dibentuknya BPUPKI yang berhasil menyusul UUD 1945 dll. Selain itu Jepang juga melatih pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang menjadi cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Ternyata dalam masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia lebih menderita dengan banyaknya kerja paksa, eksploitasi sumber daya, dll. Hal ini karena memang situasi perang saat itu membuat Jepang membutuhkan banyak bahan baku, salah satunya yang di import dari Indonesia.
Ketika Jepang menyerah kepada Tentara Sekutu pada tahun 1945, tentara Jepang harus kembali ke Negara asalnya. Tetapi menurut catatan sejarah, ada lebih dari seribu tentara Jepang yang bertahan di Indonesia, dan bergabung dengan TNI untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagian diantaranya gugur dalam pertempuran, sebagian lagi kembali ke Jepang setelah pengakuan kedulatan Indonesia pada tahun 1949, sebagian lagi bertahan dan menghabiskan masa hidup mereka di Indonesia.
Tulisan ini ada 3 part: Part 1: Tatsuo Ichiki, Part 2: Tomegoro Yoshizumi, Part 3: Shigeru Ono
Part 1 – Tatsuo Ichiki
Tatsuo Ichiki (Nama Depan Tatsuo, nama Keluarga Ichiki) adalah seorang jurnalis yang kemudian bergabung dengan TNI dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tatsuo telah lama tinggal di Indonesia sebelum masa pendudukan Jepang, sehingga dia paham bahasa dan budaya Indonesia. Tatsuo banyak berjasa dalam menerjemahkan banyak buku dari bahasa Jepang ke Indonesia dan sebaliknya (ketika masa pendudukan).
Masa Kecil Tatsuo
Tatsuo lahir di Taraki, Kumamoto. Dia adalah anak ke-3 dari 6 bersaudara. Meskipun keluarga Tatsuo adalah keturunan Daimyo (Bangsawan) dari klan Sagari, namun mereka hidup dalam kemiskinan. Hal ini membuat Tatsuo sangat ingin membantu keluarganya agar bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Tatsuo terpaksa meninggalkan bangku sekolah ketika masih di sekolah menengah, dan kemudian bekerja sebagai fotografer di sebuah studio foto.
Merantau ke Indonesia
Pada tahun 1928, Tatsuo menerima surat dari seorang temannya, Sei’ichi Miyahata yang membuka studio foto di Palembang, Indonesia. Seiichi mengundang Tatsuo untuk bergabung dan bekerja bersamanya di studio fotonya tersebut. Saat itu juga telah ada perkumpulan Jepang di Palembang, dan Seiichi adalah salah satu pimpinan di perkumpulan tersebut. Kemudian Tatsuo pun berangkat ke Palembang pada usia 21 tahun.
Selama di Palembang, Tatsuo sempat berkirim surat ke Ibunya, dan mengatakan bahwa orang Indonesia “malas” dan orang China “kotor”. Waktu itu memang mayoritas penduduk local adalah etnis melayu china. Tetapi dengan cepat Tatsuo bisa beradaptasi dengan lingkungannya dan bersahabat dengan banyak orang.
Dia bahkan bercita-cita untuk mendirikan studio foto sendiri dan membawa keluarganya ke Indonesia. Dalam sebuah surat dia menulis “Aku ingin semua keluargaku bisa ikut pindah ke sini dan bisa membangun rumah tangga yang bahagia untuk orang tua dan saudara-saudaraku yang sudah sekian lama hidup menderita”.
Tetapi setelah 5 tahun tinggal di Palembang, Tatsuo belum berhasil merubah nasibnya. Sementara itu adiknya yang bernama Naohiro yang merantau ke Bandung meninggal pada tahun 1933. Kemudian Tatsuo pergi ke Bandung, dan menetap di sana.
Di Bandungpun hidup Tatsuo belum kunjung membaik. Sempat berpindah-pindah pekerjaan, Tatsuo kemudian menumpang tinggal di rumah Itje, di sebuah desa di Sumedang.
Selama tinggal di desa inilah Tatsuo merasa menemukan kedamaian, dan dia bahkan merasa menjadi orang Indonesia sepenuhnya. Dia juga mengasah kemampuan bahasa Indonesianya, dan menyusun kamus Indonesia-Jepang. Selain itu Tatsuo juga sering menerjemahkan artikel bertema Bushido dari surat kabar Jepang dan menjualnya ke surat kabar local. Tatsuo juga terus mengikuti perkembangan politik di Jepang, salah satunya dengan cara sering berkunjung ke perkumpulan Jepang di Bandung.
Kiprah Tatsuo Dalam Gerakan Nasional Indonesia
Taisaku Machida, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Tatsuo ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Tatsuji Kubo, advokat pendukung Asianisme yang anti Belanda. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda.
Tulisan-tulisan Tatsuo di Toindo Nippo dan juga surat kabar lokal lain banyak membakar semangat nasionalisme pemuda Indonesia, dan Tatsuo juga beberapa kali berkomunikasi dengan tokoh nasionalis Indonesia, sehingga gerak-gerik Tatsuo mulai diawasi oleh pemerintah Belanda.
Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Tatsuo kembali ke Tokyo. Tapi ditolak oleh Belanda untuk kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat. Pada masa ini Tatsuo berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman Jepangnya. Mereka berdua sering berdiskusi membahas kemerdekaan Indonesia.
Peran Selama Pendudukan Jepang di Indonesia
Perang membuat Jepang membutuhkan banyak pasokan bahan baku, dan hal ini membuat pemerintah Jepang mulai melirik negara-negara di sebelah selatan. Dan kemudian diputuskan untuk menginvasi Indonesia (waktu itu dalam pemerintahan Hindia Belanda). Tatsuo turut serta dalam persiapan invasi ini.
Setelah berhasil mengusir Belanda dari Indonesia pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita oleh bangsa Indonesia. Terlebih dengan slogan saudara tua dan janji untuk memerdekakan Indonesia membuat bangsa Indonesia semakin percaya dengan Jepang. Tetapi tidak lama setelah pengusiran Belanda, pemerintah militer Jepang melarang segala bentuk kegiatan politik. Hal ini tentu mengecewakan para tokoh nasionalis Indonesia dan simpatisannya, termasuk Tatsuo.
Selama pendudukan Jepang, Tatsuo bekerja sebagai penasihat dalam pembentukan PETA (Pembela Tanah Air). Dia juga menerjemahkan banyak panduan militer dari bahasa Jepang untuk membantu pelatihan PETA. Selain itu Tatsuo juga menjabat sebagai kepala redaksi surat kabar berbahasa Indonesia, Asia Raya.
Pada masa ini Tatsuo banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia, termasuk Sukarno dan Hatta. Tatsuo juga ikut serta menjadi dewan penasihat Pusat Kesenian Indonesia bersama Sukarno dan Ahmad Subarjo, dan juga menjadi bagian dari komisi pengembangan bahasa Indonesia.
Pada masa ini juga, Tatsuo bertemu dengan H. Agus Salim. Terkesan dengan ketulusan dan kebaikan Tatsuo membantu bangsa Indonesia, H. Agus Salim memberi nama Abdul Rachman kepadanya.
Pasca Kekalahan Jepang
Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Tatsuo. Pemerintah Jepang kemudian menyatakan mematuhi perintah Sekutu, serta menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Tatsuo merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan.
Di hari Jepang menyerah, Tatsuo menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya, Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai Abdul Rachman.
Tatsuo kemudian bergabung dengan gerakan kemerdekaan Indonesia, dan selama perang kemerdekaan banyak berperan diantaranya menerjemahkan buku panduan gerilya dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Dia juga menjadi komandan Pasukan Gerilya Istimewa, salah satu kesatuan dalam TNI yang beranggotakan mantan tentara Jepang yang memilih tinggal dan membela Indonesia.
Akhir Perjuangan Tatsuo
Pada 9 Januari 1949, di desa Arjosari, Kalipare, Malang, Pasukan Gerilya Istimewa disergap tentara Belanda. Kalah jumlah dan persenjataan membuat Tatsuo dan kesatuannya terdesak. Tatsuo kemudian berlari menyerang kearah tentara belanda untuk membakar semangat pasukannya. Tatsuo pun gugur diterjang hujan peluru.
Penghargaaan dari presiden Sukarno
Pada 15 Februari 1958, dalam kunjungannya ke Jepang, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah surat kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di kuil seisho-ji di Minato, Tokyo. Surat itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
Di kuil Seisho-ji ini kemudian didirikan monumen Soekarno dan dituliskan: “Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno.”
Referensi : Historia, Wikipedia, Detik.com
Kendoka, Malang, Jawa Timur, Indonesia